Selasa, 22 Oktober 2013

Pos.pos.pos

Kalimat pertama yang dinyatakan malah "bukan aku."

padahal ada hal lain yang sangat ditunggunya.

namanya.

nama yang disebut.

tapi enggan, gairah itu meghilang.

Lawakan Cinta

Di pinggir jalan, gadis itu tersenyum pada awalnya. Sedangkan lelaki didepannya, hanya menundukkan kepalanya, tersenyum pula, tak berani menatap si lawan jenis  didepannya. Tak tahu apa yang dipikirkannya. 

Mendadak semua kalimat sapaan, basa basi “Hei ka, piye kabar e?” Sirna ditelan gelombang cemas diperutnya.
Hening.

Seolah saling menunggu siapa yang seharusnya memulai membuka pembicaraan. Tak ada yang membuka mulut. Sesungguhnya banyak sekali kalimat yang disusun gadis itu untuk pertemuan ini, tapi kesenyapan ini menelan mereka, seolah menunggu peluit sang starter tanda dimulainya lomba marathon. Mereka merasa itu adalah semenit terlama yang pernah mereka rasakan, kesunyian yang menelan kehangatan. 
Waktu memang relativitas yang menyebalkan. 

Kalimat “koen kok tambah elek wae sih.” Pun tak terucap dari gadis itu sesuai rencana. Dalam kenyataannya, kalimat itu akan terdengar sangat kasar. Ya walaupun lingkungannya tidak berkata demikian. 

“Should we start to say hi now?” Akhirnya gadis itu membuka mulut. 

“Kenapa harus aku dulu sih?” Batinnya geram sekali. 

Dia tak ingin dialah yang memulainya, karena selama ini memang selalu dia, tapi dia juga tipe yang paling tidak betah harus berhadapan dengan orang yang tak tahu harus memulai sapaan darimana. 

Lelaki didepannya hanya tersenyum, senyum paling ngece yang pernah ditunjukkannya.

“Yes, please.” Balas sang lelaki kikuk. Tak ada yang berubah, tetap seperti itu, dari dulu. Lelaki itu bingung harus berkata apa selain itu. Kenapa selalu begini kalau berhadapan dengan seorang gadis, padahal yang berada didepannya adalah teman baiknya. 
Teman baik yang telah lama tidak pernah bertemu. 
Teman baik yang selalu mendengar keluh kesahnya. 
Ya, walaupun tak pernah bertemu.

Sekarang gadis itu bingung lagi, dia tersenyum geli sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya, kebiasaannya saat tak tahu harus berkata apa.

Si lelaki meliriknya, melihatnya tertawa geli. Bingung. 
Penasaran mengapa temannya itu tersenyum. Senyum yang... Entahlah. Dia tak mengerti.

“Duduk dulu yuk?” Ajak si lelaki, kalimat terpanjang selama 3 menit terlama dalam hidupnya. Dia tak membayangkan pertemuannya akan sekaku ini. Mereka duduk di tempat duduk yang ada di trotoar.

Si gadis berpikir keras, kalimat apa yang seharusnya ditanyakan, bukan karena saking banyaknya pertanyaan, tapi karena mendadak semua kosong, terhapus oleh gelombang gugup. Dia sedang mengaduk-aduk recycle bin otaknya.

“What should we do? Should we just stay like this? Should we speak in Indonesia, or Jawa, or in English? Surabaya or Jogja if we speak in jawa?” Akhirnya serentetan kalimat terucap, tapi malah terkesan seperti kumuran dan omelan.

“Kenapa selalu aku yang mulai?” Tanyanya lagi.
“Aku te ngomong opo? Koen meneng wae.” Lanjutnya. Mangkel. Dia bermonolog. Dia tak mengerti kenapa teman disampingnya tak menjawab pertanyaannya. 
Hanya terdiam.
Sekarang dia berusaha menoleh. Berusaha menatap teman lelaki disampingnya. 
Tapi herannya, yang disampingnya sudah tak ada. 
“Kemana perginya?” Batinnya sesak.
Kenapa tak pamit pula. Semakin mangkel.

Tapi tiba-tiba keadaan berubah, semua yang dilihat gadis tersebut berubah, dia sudah tak berada di tempat pertemuan tadi. Dia berada ditempat yang sangat dikenalnya, didepan rumah teman lelakinya itu, tapi yang keluar dari rumah bukan yang tadi ditemuinya, tapi anak kecil, anak SD, yang tak lain dia sewaktu kecil. Mereka memang teman SD, teman semasa kecil yang tak pernah bertemu setelah dewasa. Tapi setelah anak SD itu melihatnya, herannya si gadis malah berlari, dan bersembunyi. Sesekali dia melihat kearah anak SD, mencarinya, tapi tidak menemukannya. Anak SD itu tak menemukan si gadis.
Semuanya berubah lagi, yang dilihatnya hanyalah atap kamar yang mulai disarangi oleh laba-laba.

***

Aku terbangun. Semuanya hanya mimpi. Bahkan dimimpiku, aku tak berani mengatakan perasaanku. Betapa pengecutnya aku. Ku geledah bawah bantalku, mencari ponsel. Hanya jam digital di screen-nya, tak ada sms dari yang kuimpikan tadi. 

Aku sudah tak mendengar kabarnya selama dua minggu, dan jujur, aku masih saja berharap, suatu saat, saat aku terbangun dari tidurku ada pesan singkat darinya. Hanya harapan, aku tak berani mengiriminya sms lebih dulu. 
Hanya berharap.

“Akankah kita bertemu suatu saat nanti?” Gumamku enggan.


The end